Kamis, 17 Desember 2015
Diposting oleh
Unknown
di
17.05
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
![](https://resources.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif)
Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam
Untuk mengetahui pemikiran al-Ghazali
dalam bidang pendidikan, lebih dahulu kita harus mengetahui dan memahami
pandangan al-Ghazali yang berkenaan ilmu pengetahuan dengan berbagai aspeknya,
antara lain tujuan pendidikan, kurikulum, metode, pendidik dan murid.
Pendidikan, yang kata itu dilekatkan
pada kata islam didefinisikan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda
sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Tetapi semua pendapat itu bertemu
dalam satu pandangan, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa
mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi
tujuan hidup secara efektif dan efisien. Selain mewariskan nilai-nilai budaya
dari generasi ke generasi untuk memelihara identitas masyarakat, pendidikan
juga bertugas mengembangkan potensi manusia untuk dirinya sendiri dan
masyarakatnya.
Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin,
al-Ghazali memulai pandangannya dengan nada provokatif tentang keutamaan bagi
mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dengan mengutip al-Qur’an surat
al-Mujadilah ayat 11, yang artinya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (QS. Al-Mujadilah:11)
Provokasi ini kemudian dilanjutkannya
dengan hadis Nabi yang bernada majaz metaforik yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas
tentang keutamaan ilmuwan atas orang awam, pernyataan tersebut adalah:
Li al-‘ulama’ darajah fauqo
al-mu’minina bisab’i mi’ah darajah ma bayna al-darajataini masirah khamsah
mi’ah ‘am.
Artinya: “Para orang-orang yang
berilmu memiliki derajat diatas orang-orang mukmin sebanyak tujuh ratus
derajat, jarak di antara dua derajat tersebut adalah perjalanan lima ratus
tahun”.
Konsep pemikiran al-Ghazali tentang
pendidikan lebih cenderung bersifat empirisme, hal ini disebabkan karena ia
sangat menekankan pada pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya,
pendidikan seorang anak sangat tergantung kepada orang tua yang mendidiknya.
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa dalam peranannya, pendidikan sangat
menentukan kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.
Dengan melihat dan memahami beberapa
karyanya yang berkaitan dengan pendidikan, dapat dikatakan bahwa al-Ghazali
adalah penganut asas kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan
kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia
islam maka hukumnya wajib, tidak terkecuali bagi siapapun. Dapat dikatakan
pula, bahwa ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih),
dimana pendidikanlah yang bisa mewarnai seorang anak yang bagai kertas putih
tersebut dengan hal-hal yang benar. Hal tersebut tercermin dalam salah satu
kitabnya, Ihya’ ’Ulumuddin yang mengatakan bahwa seorang anak ketika lahir
masih dalam keadaan fitrah (suci).
Tujuan Pendidikan
Menurut Nizar, al-Ghazali menjadikan
transinternalisasi ilmu dan proses pendidikan merupakan sarana utama
untuk menyiarkan ajaran islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ila Allah. Lebih
lanjut dikatakan, bahwa pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan
diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.
Intinya, pendidikan menurut al-Ghazali
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana tujuan
penciptaan manusia yang termaktub dalam QS. Al-Dzariyat: 56. Tujuan pendidikan
ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) Tujuan mempelajari ilmu
pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah
kepada Allah SWT; (2) Tujuan utama pendidikan islam adalah pembentukan akhlaq
al-karimah; (3) Tujuan pendidikan islam adalah mengantarkan peserta didik
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Perumusan ketiga tujuan pendidikan
tersebut dapat menjadikan program pendidikan yang dijalankan bersinergi dengan
tujuan penciptaan manusia dimuka bumi ini, yaitu untuk beribadah pada Allah
sehingga pada gilirannya mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri
dengan Allah SWT.
Menurut Nata, pendidikan islam itu
secara umum mempunyai corak spesifik yaitu adanya cap agama dan etika yang
terlihat nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, tetapi tanpa mengabaikan
masalah keduniawian. Dan al-Ghazali pada prinsipnya sejalan dengan trend-trend
keagamaan semacam ini, namun disatu sisi ia tetap memberikan ruang yang cukup
dalam sistem pendidikan bagi perkembangan duniawi, dengan catatan bahwa
masalah-masalah dunia hanya dimaksudkan sebagai jalan untuk menuju kebahagiaan
hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghazali adalah memanfaatkan
pengetahuan yang ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu
sendiri yang dengannya dapat menjaga keseimbangan alam semesta ini dengan
melestarikan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, juga sekaligus sebagai
sebuah aplikasi dari tugas penciptaan manusia di muka bumi. Pemanfaatan
pengetahuan itu semata-mata adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah SWT,
Tuhan semesta alam.
Kurikulum
Kurikulum, dalam pengertian sederhana berarti
mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan
agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Pandangan al-Ghazali tentang
kurikulum dapat diketahui berdasarkan pandangannya dalam membagi ilmu
pengetahuan menjadi tiga kategori besar, yaitu: (1) Ilmu yang tercela yang
tidak pantas dipelajari (al-mazmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan lain
sebagainya. (2) Ilmu yang terpuji yang pantas untuk dipelajari
(al-mahmud) yang meliputi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu
yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari. (3) Ilmu terpuji dalam kadar
tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, seperti
ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan lain-lain.
Menurut Nata, yang dimaksud dari
kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ilmu-ilmu
tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang
tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa
mudharat bagi orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir
misalnya dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan
dendam, permusuhan dan kejahatan. Sementara ilmu nujum menurut al-Ghazali dapat
dibagi menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu
nujum berdasarkan istidlaly. Tapi beliau masih memberi toleransi dengan
mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum untuk mengetahui
letak kiblat.
Kedua, ilmu-ilmu terpuji. Al-Ghazali
menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan
peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian,
yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari
kitab Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at yang dengannya ia akan paham
apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan. Sedangkan yang fardlu
kifayah adalah semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan untuk kelancaran semua
urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain. Menurutnya, jika
tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah seluruhnya, tetapi jika
telah ada seseorang yang menguasainya dan dapat mempraktekkannya maka tuntutan
wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam
kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam,
karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan terjadinya kesemrawutan dan
kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa pada kekafiran,
seperti ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena
menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik. Ia
berpendapat bahwa orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai anak kecil yang
masih menyusu, dan akan sakit apabila diberikan makanan yang bermacam-macam
yang belum dapat dicerna oleh perutnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan
dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan
kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya
seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum
mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus
mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, karena ilmu agama meliputi
keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia.
Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan dengan
berdasarkan pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah SWT. Hal ini menjadi wajar
dengan melihat latar belakang kehidupan beliau sebagai seorang sufi.
Metode
Menurut al-Ghazali metode perolehan ilmu dapat
dibagi berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu ilmu kasbi dan ilmu ladunni.
(1) Ilmu kasbi dapat diperoleh melalui metode atau cara berfikir sistematik dan
metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan,
penelitian, percobaan dan penemuan, yang mana memperolehnya dapat menggunakan
pendekatan ta’lim insani. (2) Ilmu ladunni dapat diperoleh orang-orang tertentu
dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada umumnya tetapi melalui proses
pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam qalbu, yang mana memperolehnya
adalah menggunakan pendekatan ta’lim rabbani.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai
pendekatan behavioristik dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini terlihat
dari pernyataannya, jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru
mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan,
bentuk apresiasi gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik
dalam Eropa modern yang memberikan reward dan punishment-nya dalam bentuk
kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan
uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya. Disamping itu, ia juga
mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik
harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistik dan menghargai
mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana
seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid
selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri.[31] Dengan ungkapan seperti ini
tentu ia menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru. Lebih lanjut
dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan
yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian, faktor
keteladanan merupakan metode pengajaran yang utama dan sangat penting dalam
pandangannya.
Menurut al-Ghazali, pendidikan tidak
semata-mata sebagai suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan
yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu masing-masing guru dan murid
berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi
yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran
sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir
dapat mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan yang didapatkannya.
4.
Pendidik
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya:
“Sebaik-baik ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.”
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya:
“Sebaik-baik ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain
memiliki kompetensi dalam bidang yang diajarkan yang tercermin dalam
kesempurnaan akalnya, juga haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang
kuat. Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria
khusus, yaitu:
1.
Memperlakukan murid dengan penuh kasih saying.
2.
Meneladani Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta
upah.
3.
Memberikan peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan
diri pada Allah SWT.
4.
Memperingati murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang
simpatik, halus tanpa cacian, makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan
murid didepan umum.
5.
Menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan
keahlian lain yang bukan keahlian dan spesialisasinya.
6.
Menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan
memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu.
7.
Memahami perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai
dengan perbedaan usianya.
8.
Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya
merealisasikannya sedemikian rupa.
5.
Murid
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid (islam). Untuk itu, seorang pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid (islam). Untuk itu, seorang pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali, murid
memiliki etika dan tugas yang sangat banyak, yang dapat disusun dalam tujuh
bagian, yaitu:
1.
Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2.
Mengurangi hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya
sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.
3.
Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan
tidak terpuji kepada guru, bahkan ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4.
Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan diantara manusia.
5.
Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia
dapat mengetahui hakikatnya.
6.
Mencurahkan perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu
ilmu akhirat.
7.
Hendaklah tujuan murid itu ialah untuk mnghiasi batinnya
dengan sesuatu yang akan mengantarkannya kepada Allah SWT.
Diposting oleh
Unknown
di
08.47
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
![](https://resources.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif)
Resensi Novel Biografi Gus Dur "PECI MIRING"
Judul Buku :
“PECI MIRNG” Novel Biografi Gus Dur
Pengarang :
Aguk Irawan M N
Penerbit : PT Kaurama Buana Antara, Banten
Tahun Terbit : 2015
Cetakan : Pertama, September 2015
Jumlah Halaman : 404 halaman
Kategori : Novel Biografi
Ukuran : 13,5 x 20,5 cm
ISBN :
978-602-72793-1-5
Harga : Rp. 70.000,-
Novel ini hanya sebuah cerita sederhana
tentang Gus Dur sebagai manusia biasa sejak beliau dikandung hingga tumbuh
menjadi seorang guru bangsa. Novel ini berjudul “PECI MIRING” bukan maksud Aguk
si penulis untuk mengecilkan seorang tokoh besar dan ulama yang mustahil bisa
dikecilkan dengan cara apapun, bukan pula untuk menunjukkan rasa tidak sopan
dihadapan kebesarannya. Beliau dan peci miringnya adalah sebuah ikon tentang
seorang hamba Tuhan yang diberkahi ilmu dan kebijaksanaan, tetapi tetap tampil
bersahaja dan sedehana.
Novel
ini sangat menarik untuk di baca, kita bisa melihat perjalanan Gus Dur ketika
lahir, masa anak-anak, saat sekolah, pada waktu mondok di pesantren, di bangku
kuliah, kemudian mengarungi hidupnya yang merdeka, sampai fase saat ia
menyembara ke Eropa. Aguk si penulis menuturkan sejarah hidup beliau dengan
detail dalam bahasa yang enak di fahami dan jenaka tetapi menyimpan makna-makna
keteladanan dalam banyak hal.
Dalam sisi informasi, Aguk tidak hanya
bercerita berdasarkan imajinasinya, melainkan dibimbing oleh mereka yang
mengenal dekat dengan beliau, yang tidak lain adalah Ibu Nyai Sinta Nuriyah dan
keluarga besarnya, serta pribadi-pribadi yang dekat dengan beliau KH. Mustofa
Bisri, KH. Mahfudz Ridwan, KH. Husein Muhammad, Dr. Zastrouw Al-Ngatawi, Mas
Andi Muawiyah Ramly, serta Prof. Dr. KH. Abdul Ghofur, sehingga novel ini bisa
dijamin bukan sebuah rekayasa.
Di halaman belakang novel ini juga
dilengkapi bagaimana riwayat pendidikan, karier, penghargaan, serta gelar
doktor kehormatan Gus Dur. Selain itu juga terdapat foto-foto kenangan beliau
bersama orang-orang tercinta.
Akan tetapi, novel ini hanya mengisahkan
Gus Dur sampai batas beliau mengembara ke Eropa, sehingga hasrat dahaga pembaca
akan kisah perjalanan beliau sampai beliau menjadi Presiden RI, menjadi Pengus
Besar Nahdlatul Ulama, menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang,
hingga beliau wafat belum sepenuhnya terpenuhi, tetapi sebagai pembaca saya
sudah cukup puas dengan novel ini bisa mengetahui apa yang belum saya ketahui
dari kisah pejalanan beliau sampai menjadi guru bangsa.
Sebagai penutup, saya ingin menulis ini
“Zaman telah sepi dari kehadiran tokoh besar kemanusiaan. Umat manusia berjalan
tanpa lilin, tanpa cahaya, dan diliputi dengan ketidak mengertian. Bila engkau
seorang pelajar dan pemikir, seharusnya engkau mencari-cari dengan serius kabar
dan menapaki jalan hidup mereka”, kata-kata dari Syeikh Syahzuri, seorang sufi
besar. Dan Gus Dur adalah satu diantara para tokoh besar kemanusiaan it. Saya
berharap novel biografi ini banyak dibaca publik sebagai inspirasi kita untuk
maju kedepan.
Diposting oleh
Unknown
di
08.36
1 komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
![](https://resources.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif)
Islam Nusantara itu Islam Berkemajuan dalam Konteks Kebangsaan
Kamis, 08 Oktober 2015
Pengasuh Pesantren Tebu Ireng Jombang, KH. Salahuddin Wahid mengatakan,
umat Islam sedunia terus mengalami ketertinggalan. Ketertinggalan
keilmuan dan teknologi. Itu karena, berdasarkan studi Rehman dan Askari,
Keislaman semua Negara Muslim tidak tinggi. Dari 4 indeks ukuran (Economic Islamicity, Legal and Governance Islamicity, Human and Political Islamicity, International Relation Islamicity),
yang didasarkan pada Qur’an dan Sunnah. Hasilnya Keislaman rata-rata
Negeri Muslim berada pada nomor 137 dari 208 negara. Indonesia berada
pada urutan 140. Negeri Muslim tertinggi adalah Malaysia pada urutan 38.
Oleh karenanya, tidak ada lain, umat Islam harus berjuang keras untuk
meningkatkan kesejahteraan umat dan ketertinggalannya.
Hal tersebut disampaikan Salahuddin Wahid dalam seminar yang
diselenggarakan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan
Kalijaga, bertempat di Convention hall, kampus UIN Sunan
Kalijaga, Selasa, 6 Oktober 2015. Seminar bertajuk “Islam Nusantara dan
Islam berkemajuan untuk Indonesia”, diikuti ratusan mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga ini mengadirkan juga Haedar Nashir sebagai nara sumber.
Lebih lanjut Salahuddin Wahid menyampaikan, bagaimana umat Islam harus
berjuang mengejar ketertinggalan? Setiap keluarga dan individu Muslim
harus melakukan transformasi menuju akhlak mulia. Kenapa dari keluarga?
Keluarga adalah benteng paling kokoh dan persemaian paling baik bagi
penanaman nilai, budi pekerti, dan akhlak. Sementara kaum Muslim
hendaknya tidak hidup secara tertutup, tetapi terbuka, bermartabat dan
setara, kata Salahuddin.
Dijelaskan, ajaran Islam sesungguhnya begitu baik, tetapi dalam
penerapannya amat kurang. Salah satu cara untuk menerapkan Islam secara
baik adalah bertanya pada diri sendiri. Apakah kita sudah berlaku jujur?
Padahal Islam amat mengutamakan kejujuran. Seandainya memang kita
menyadari belum berlaku jujur, hendaknya kita terus berjuang keras untuk
menjadi orang-orang yang jujur. Sementara untuk seluruh umat Muslim
Indonesia, untuk mengejar ketertinggalan, dibutuhkan 3 strategi:
demokrasi, akhlak dan ilmu. Agar strategi bisa dilakukan diperlukan 7
persyaratan : Kestabilan politik, 1. Kemajuan ekonomi, 3. Pemahaman
keagamaan inklusif, 4. Pemikiran keagamaan modern, 5. Mengurangi
dometifikasi, 6. Kemandirian, 7. Tagaknya hukum.
Sementara, Dosen Fakultas Ushuluddin dan pemikiran Islam (Wakil dekan
Bidang Akademik), Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag., menyampaikan, seminar ini
dilatarbelakangi oleh pelaksanaan muktamar Nahdlatul Ulama (NU) k eke 33
di Jombang, Jawa Timur (1-5 Agustus 2015) dan Muhammadiyah ke 47 di
Makassar, Sulawesi Selatan (3-7 Agustus 2015). Menurut Fahruddin Faiz,
tema yang diangkat muktamar NU “Meneguhkan Islam Nusantara untuk
Membangun Peradaban Indonesia dan Dunia”, serta tema muktamar
Muhammadiyah “Gerakan Pencerahan menuju Indonesia Berkemajuan”
membutuhkan implementasi dari jalur pendidikan (terutama pendidikan
tinggi Islam). Apalagi tema ini sudah sering menjadi wacana pembicaraan
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dijelaskan, Seminar ini merupakan salah satu upaya mendialokkan tema
besar Islam Nusantara dan Islam yang berkemajuan. Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, sebagai salah satu pusat kajian
Islam di Indonesia, diharapkan kontribusinya untuk memetakan
problematika Islam Nusantara dan Islam berkemajuan. Ide-ide dari
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, diharapkan menjadi rujukan
dalam aspek pemahaman terhadap Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan.
Berbagai problem misalnya, Islam Indonesia saat ini tidak cukup
memiliki infra struktur untuk mencapai kemajuan. Sehingga sering kalah
dengan kelompok lain. Islam Indonesia adalah kelompok mayoritas dengan
mental minoritas. Menyadari problem-problem seperti ini, maka umat Islam
harus berubah dengan visi berkemajuan dalam semua sektor, dengan
kesadaran proses-proses manajemen yang modern. Ditambah lagi Islam di
Indonesia hendaknya memiliki watak universal yang kuat, namun tidak
meninggalkan yang partikular (lokalitas), Inilah yang bisa memajukan
Indonesia. Sementara Islam berkemajuan harus seiring dengan konsep
negara Indonesia. Yang digambarkan dalam Pembukaan UUD’45. Yakni
cita-cita Negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini hendaknya dipahami oleh umat
Islam sehingga mau berpikiran terbuka, jelas Fahruddin Faiz. (Weni
Hidayati-Humas UIN Sunan Kalijaga).
sumber: http://uin-suka.ac.id/page/berita/detail/1079/islam-nusantara-itu-islam-berkemajuan-dalam-konteks-kebangsaan
Diposting oleh
Unknown
di
17.44
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
![](https://resources.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif)
Langganan:
Postingan (Atom)