Untuk mengetahui pemikiran al-Ghazali
dalam bidang pendidikan, lebih dahulu kita harus mengetahui dan memahami
pandangan al-Ghazali yang berkenaan ilmu pengetahuan dengan berbagai aspeknya,
antara lain tujuan pendidikan, kurikulum, metode, pendidik dan murid.
Pendidikan, yang kata itu dilekatkan
pada kata islam didefinisikan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda
sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Tetapi semua pendapat itu bertemu
dalam satu pandangan, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa
mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi
tujuan hidup secara efektif dan efisien. Selain mewariskan nilai-nilai budaya
dari generasi ke generasi untuk memelihara identitas masyarakat, pendidikan
juga bertugas mengembangkan potensi manusia untuk dirinya sendiri dan
masyarakatnya.
Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin,
al-Ghazali memulai pandangannya dengan nada provokatif tentang keutamaan bagi
mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dengan mengutip al-Qur’an surat
al-Mujadilah ayat 11, yang artinya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (QS. Al-Mujadilah:11)
Provokasi ini kemudian dilanjutkannya
dengan hadis Nabi yang bernada majaz metaforik yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas
tentang keutamaan ilmuwan atas orang awam, pernyataan tersebut adalah:
Li al-‘ulama’ darajah fauqo
al-mu’minina bisab’i mi’ah darajah ma bayna al-darajataini masirah khamsah
mi’ah ‘am.
Artinya: “Para orang-orang yang
berilmu memiliki derajat diatas orang-orang mukmin sebanyak tujuh ratus
derajat, jarak di antara dua derajat tersebut adalah perjalanan lima ratus
tahun”.
Konsep pemikiran al-Ghazali tentang
pendidikan lebih cenderung bersifat empirisme, hal ini disebabkan karena ia
sangat menekankan pada pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya,
pendidikan seorang anak sangat tergantung kepada orang tua yang mendidiknya.
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa dalam peranannya, pendidikan sangat
menentukan kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.
Dengan melihat dan memahami beberapa
karyanya yang berkaitan dengan pendidikan, dapat dikatakan bahwa al-Ghazali
adalah penganut asas kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan
kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia
islam maka hukumnya wajib, tidak terkecuali bagi siapapun. Dapat dikatakan
pula, bahwa ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih),
dimana pendidikanlah yang bisa mewarnai seorang anak yang bagai kertas putih
tersebut dengan hal-hal yang benar. Hal tersebut tercermin dalam salah satu
kitabnya, Ihya’ ’Ulumuddin yang mengatakan bahwa seorang anak ketika lahir
masih dalam keadaan fitrah (suci).
Tujuan Pendidikan
Menurut Nizar, al-Ghazali menjadikan
transinternalisasi ilmu dan proses pendidikan merupakan sarana utama
untuk menyiarkan ajaran islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ila Allah. Lebih
lanjut dikatakan, bahwa pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan
diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.
Intinya, pendidikan menurut al-Ghazali
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana tujuan
penciptaan manusia yang termaktub dalam QS. Al-Dzariyat: 56. Tujuan pendidikan
ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) Tujuan mempelajari ilmu
pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah
kepada Allah SWT; (2) Tujuan utama pendidikan islam adalah pembentukan akhlaq
al-karimah; (3) Tujuan pendidikan islam adalah mengantarkan peserta didik
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Perumusan ketiga tujuan pendidikan
tersebut dapat menjadikan program pendidikan yang dijalankan bersinergi dengan
tujuan penciptaan manusia dimuka bumi ini, yaitu untuk beribadah pada Allah
sehingga pada gilirannya mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri
dengan Allah SWT.
Menurut Nata, pendidikan islam itu
secara umum mempunyai corak spesifik yaitu adanya cap agama dan etika yang
terlihat nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, tetapi tanpa mengabaikan
masalah keduniawian. Dan al-Ghazali pada prinsipnya sejalan dengan trend-trend
keagamaan semacam ini, namun disatu sisi ia tetap memberikan ruang yang cukup
dalam sistem pendidikan bagi perkembangan duniawi, dengan catatan bahwa
masalah-masalah dunia hanya dimaksudkan sebagai jalan untuk menuju kebahagiaan
hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghazali adalah memanfaatkan
pengetahuan yang ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu
sendiri yang dengannya dapat menjaga keseimbangan alam semesta ini dengan
melestarikan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, juga sekaligus sebagai
sebuah aplikasi dari tugas penciptaan manusia di muka bumi. Pemanfaatan
pengetahuan itu semata-mata adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah SWT,
Tuhan semesta alam.
Kurikulum
Kurikulum, dalam pengertian sederhana berarti
mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan
agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Pandangan al-Ghazali tentang
kurikulum dapat diketahui berdasarkan pandangannya dalam membagi ilmu
pengetahuan menjadi tiga kategori besar, yaitu: (1) Ilmu yang tercela yang
tidak pantas dipelajari (al-mazmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan lain
sebagainya. (2) Ilmu yang terpuji yang pantas untuk dipelajari
(al-mahmud) yang meliputi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu
yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari. (3) Ilmu terpuji dalam kadar
tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, seperti
ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan lain-lain.
Menurut Nata, yang dimaksud dari
kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ilmu-ilmu
tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang
tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa
mudharat bagi orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir
misalnya dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan
dendam, permusuhan dan kejahatan. Sementara ilmu nujum menurut al-Ghazali dapat
dibagi menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu
nujum berdasarkan istidlaly. Tapi beliau masih memberi toleransi dengan
mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum untuk mengetahui
letak kiblat.
Kedua, ilmu-ilmu terpuji. Al-Ghazali
menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan
peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian,
yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari
kitab Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at yang dengannya ia akan paham
apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan. Sedangkan yang fardlu
kifayah adalah semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan untuk kelancaran semua
urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain. Menurutnya, jika
tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah seluruhnya, tetapi jika
telah ada seseorang yang menguasainya dan dapat mempraktekkannya maka tuntutan
wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam
kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam,
karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan terjadinya kesemrawutan dan
kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa pada kekafiran,
seperti ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena
menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik. Ia
berpendapat bahwa orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai anak kecil yang
masih menyusu, dan akan sakit apabila diberikan makanan yang bermacam-macam
yang belum dapat dicerna oleh perutnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan
dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan
kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya
seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum
mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus
mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, karena ilmu agama meliputi
keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia.
Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan dengan
berdasarkan pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah SWT. Hal ini menjadi wajar
dengan melihat latar belakang kehidupan beliau sebagai seorang sufi.
Metode
Menurut al-Ghazali metode perolehan ilmu dapat
dibagi berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu ilmu kasbi dan ilmu ladunni.
(1) Ilmu kasbi dapat diperoleh melalui metode atau cara berfikir sistematik dan
metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan,
penelitian, percobaan dan penemuan, yang mana memperolehnya dapat menggunakan
pendekatan ta’lim insani. (2) Ilmu ladunni dapat diperoleh orang-orang tertentu
dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada umumnya tetapi melalui proses
pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam qalbu, yang mana memperolehnya
adalah menggunakan pendekatan ta’lim rabbani.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai
pendekatan behavioristik dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini terlihat
dari pernyataannya, jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru
mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan,
bentuk apresiasi gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik
dalam Eropa modern yang memberikan reward dan punishment-nya dalam bentuk
kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan
uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya. Disamping itu, ia juga
mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik
harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistik dan menghargai
mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana
seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid
selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri.[31] Dengan ungkapan seperti ini
tentu ia menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru. Lebih lanjut
dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan
yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian, faktor
keteladanan merupakan metode pengajaran yang utama dan sangat penting dalam
pandangannya.
Menurut al-Ghazali, pendidikan tidak
semata-mata sebagai suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan
yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu masing-masing guru dan murid
berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi
yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran
sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir
dapat mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan yang didapatkannya.
4.
Pendidik
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya:
“Sebaik-baik ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.”
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya:
“Sebaik-baik ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain
memiliki kompetensi dalam bidang yang diajarkan yang tercermin dalam
kesempurnaan akalnya, juga haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang
kuat. Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria
khusus, yaitu:
1.
Memperlakukan murid dengan penuh kasih saying.
2.
Meneladani Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta
upah.
3.
Memberikan peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan
diri pada Allah SWT.
4.
Memperingati murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang
simpatik, halus tanpa cacian, makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan
murid didepan umum.
5.
Menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan
keahlian lain yang bukan keahlian dan spesialisasinya.
6.
Menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan
memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu.
7.
Memahami perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai
dengan perbedaan usianya.
8.
Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya
merealisasikannya sedemikian rupa.
5.
Murid
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid (islam). Untuk itu, seorang pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid (islam). Untuk itu, seorang pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali, murid
memiliki etika dan tugas yang sangat banyak, yang dapat disusun dalam tujuh
bagian, yaitu:
1.
Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2.
Mengurangi hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya
sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.
3.
Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan
tidak terpuji kepada guru, bahkan ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4.
Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan diantara manusia.
5.
Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia
dapat mengetahui hakikatnya.
6.
Mencurahkan perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu
ilmu akhirat.
7.
Hendaklah tujuan murid itu ialah untuk mnghiasi batinnya
dengan sesuatu yang akan mengantarkannya kepada Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar