Welcome

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

Kamis, 17 Desember 2015

http://uin-suka.ac.id/

Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam

Untuk mengetahui pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan, lebih dahulu kita harus mengetahui dan memahami pandangan al-Ghazali yang berkenaan ilmu pengetahuan dengan berbagai aspeknya, antara lain tujuan pendidikan, kurikulum, metode, pendidik dan murid.
Pendidikan, yang kata itu dilekatkan pada kata islam didefinisikan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Tetapi semua pendapat itu bertemu dalam satu pandangan, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Selain mewariskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi untuk memelihara identitas masyarakat, pendidikan juga bertugas mengembangkan potensi manusia untuk dirinya sendiri dan masyarakatnya.
Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, al-Ghazali memulai pandangannya dengan nada provokatif tentang keutamaan bagi mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dengan mengutip al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11, yang artinya:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (QS. Al-Mujadilah:11)
Provokasi ini kemudian dilanjutkannya dengan hadis Nabi yang bernada majaz metaforik yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tentang keutamaan ilmuwan atas orang awam, pernyataan tersebut adalah:
Li al-‘ulama’ darajah fauqo al-mu’minina bisab’i mi’ah darajah ma bayna al-darajataini masirah khamsah mi’ah ‘am.
Artinya: “Para orang-orang yang berilmu memiliki derajat diatas orang-orang mukmin sebanyak tujuh ratus derajat, jarak di antara dua derajat tersebut adalah perjalanan lima ratus tahun”.
Konsep pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung bersifat empirisme, hal ini disebabkan karena ia sangat menekankan pada pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya, pendidikan seorang anak sangat tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa dalam peranannya, pendidikan sangat menentukan kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.
Dengan melihat dan memahami beberapa karyanya yang berkaitan dengan pendidikan, dapat dikatakan bahwa al-Ghazali adalah penganut asas kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia islam maka hukumnya wajib, tidak terkecuali bagi siapapun. Dapat dikatakan pula, bahwa ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih), dimana pendidikanlah yang bisa mewarnai seorang anak yang bagai kertas putih tersebut dengan hal-hal yang benar. Hal tersebut tercermin dalam salah satu kitabnya, Ihya’ ’Ulumuddin yang mengatakan bahwa seorang anak ketika lahir masih dalam keadaan fitrah (suci).

Tujuan Pendidikan

Menurut Nizar, al-Ghazali menjadikan transinternalisasi ilmu dan proses pendidikan  merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ila Allah. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.
Intinya, pendidikan menurut al-Ghazali bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana tujuan penciptaan manusia yang termaktub dalam QS. Al-Dzariyat: 56. Tujuan pendidikan ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT; (2) Tujuan utama pendidikan islam adalah pembentukan akhlaq al-karimah; (3) Tujuan pendidikan islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Perumusan ketiga tujuan pendidikan tersebut dapat menjadikan program pendidikan yang dijalankan bersinergi dengan tujuan penciptaan manusia dimuka bumi ini, yaitu untuk beribadah pada Allah sehingga pada gilirannya mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri dengan Allah SWT.
Menurut Nata, pendidikan islam itu secara umum mempunyai corak spesifik yaitu adanya cap agama dan etika yang terlihat nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, tetapi tanpa mengabaikan masalah keduniawian. Dan al-Ghazali pada prinsipnya sejalan dengan trend-trend keagamaan semacam ini, namun disatu sisi ia tetap memberikan ruang yang cukup dalam sistem pendidikan bagi perkembangan duniawi, dengan catatan bahwa masalah-masalah dunia hanya dimaksudkan sebagai jalan untuk menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghazali adalah memanfaatkan pengetahuan yang ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri yang dengannya dapat menjaga keseimbangan alam semesta ini dengan melestarikan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, juga sekaligus sebagai sebuah aplikasi dari tugas penciptaan manusia di muka bumi. Pemanfaatan pengetahuan itu semata-mata adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam.

Kurikulum
Kurikulum, dalam pengertian sederhana berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat diketahui berdasarkan pandangannya dalam membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori besar, yaitu: (1) Ilmu yang tercela yang tidak pantas dipelajari (al-mazmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan lain sebagainya. (2) Ilmu yang terpuji yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud)  yang meliputi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari. (3) Ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, seperti ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan lain-lain.
Menurut Nata, yang dimaksud dari kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ilmu-ilmu tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa mudharat bagi orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir misalnya dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan dendam, permusuhan dan kejahatan. Sementara ilmu nujum menurut al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum berdasarkan istidlaly. Tapi beliau masih memberi toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum untuk mengetahui letak kiblat.
Kedua, ilmu-ilmu terpuji. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at yang dengannya ia akan paham apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan. Sedangkan yang fardlu kifayah adalah semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain. Menurutnya, jika tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah seluruhnya, tetapi jika telah ada seseorang yang menguasainya dan dapat mempraktekkannya maka tuntutan wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan terjadinya kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa pada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik. Ia berpendapat bahwa orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai anak kecil yang masih menyusu, dan akan sakit apabila diberikan makanan yang bermacam-macam yang belum dapat dicerna oleh perutnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia. Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan dengan berdasarkan pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah SWT. Hal ini menjadi wajar dengan melihat latar belakang kehidupan beliau sebagai seorang sufi.

Metode
    Menurut al-Ghazali metode perolehan ilmu dapat dibagi berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu ilmu kasbi dan ilmu ladunni. (1) Ilmu kasbi dapat diperoleh melalui metode atau cara berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan, yang mana memperolehnya dapat menggunakan pendekatan ta’lim insani. (2) Ilmu ladunni dapat diperoleh orang-orang tertentu dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada umumnya tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam qalbu, yang mana memperolehnya adalah menggunakan pendekatan ta’lim rabbani.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai pendekatan behavioristik dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini terlihat dari pernyataannya, jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan, bentuk apresiasi gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward dan punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya. Disamping itu, ia juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri.[31] Dengan ungkapan seperti ini tentu ia menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian, faktor keteladanan merupakan metode pengajaran yang utama dan sangat penting dalam pandangannya.
Menurut al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata sebagai suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu masing-masing guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir dapat mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan yang didapatkannya.
4.    
     Pendidik
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya:
“Sebaik-baik ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam bidang yang diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan akalnya, juga haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat. Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria khusus, yaitu:
1.    Memperlakukan murid dengan penuh kasih saying.
2.    Meneladani Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah.
3.    Memberikan peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan diri pada Allah SWT.
4.    Memperingati murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik, halus tanpa cacian, makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan murid didepan umum.
5.    Menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan keahlian lain yang bukan keahlian dan spesialisasinya.
6.    Menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu.
7.    Memahami perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan perbedaan usianya.
8.    Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya merealisasikannya sedemikian rupa.
5.    
     Murid
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid (islam). Untuk itu, seorang pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali, murid memiliki etika dan tugas yang sangat banyak, yang dapat disusun dalam tujuh bagian, yaitu:
1.    Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2.    Mengurangi hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.
3.    Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan tidak terpuji kepada guru, bahkan ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4.    Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan diantara manusia.
5.    Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia dapat mengetahui hakikatnya.
6.    Mencurahkan perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat.
7.    Hendaklah tujuan murid itu ialah untuk mnghiasi batinnya dengan sesuatu yang akan mengantarkannya kepada Allah SWT.


Resensi Novel Biografi Gus Dur "PECI MIRING"

PERJALANAN GURU BANGSA

Judul Buku               : “PECI MIRNG” Novel Biografi Gus Dur
Pengarang                : Aguk Irawan M N
Penerbit                    : PT Kaurama Buana Antara, Banten
Tahun Terbit            : 2015
Cetakan                    : Pertama, September 2015
Jumlah Halaman      : 404 halaman
Kategori                    : Novel Biografi
Ukuran                      : 13,5 x 20,5 cm
ISBN                          : 978-602-72793-1-5
Harga                         : Rp. 70.000,-


Novel ini hanya sebuah cerita sederhana tentang Gus Dur sebagai manusia biasa sejak beliau dikandung hingga tumbuh menjadi seorang guru bangsa. Novel ini berjudul “PECI MIRING” bukan maksud Aguk si penulis untuk mengecilkan seorang tokoh besar dan ulama yang mustahil bisa dikecilkan dengan cara apapun, bukan pula untuk menunjukkan rasa tidak sopan dihadapan kebesarannya. Beliau dan peci miringnya adalah sebuah ikon tentang seorang hamba Tuhan yang diberkahi ilmu dan kebijaksanaan, tetapi tetap tampil bersahaja dan sedehana.
                Novel ini sangat menarik untuk di baca, kita bisa melihat perjalanan Gus Dur ketika lahir, masa anak-anak, saat sekolah, pada waktu mondok di pesantren, di bangku kuliah, kemudian mengarungi hidupnya yang merdeka, sampai fase saat ia menyembara ke Eropa. Aguk si penulis menuturkan sejarah hidup beliau dengan detail dalam bahasa yang enak di fahami dan jenaka tetapi menyimpan makna-makna keteladanan dalam banyak hal.
Dalam sisi informasi, Aguk tidak hanya bercerita berdasarkan imajinasinya, melainkan dibimbing oleh mereka yang mengenal dekat dengan beliau, yang tidak lain adalah Ibu Nyai Sinta Nuriyah dan keluarga besarnya, serta pribadi-pribadi yang dekat dengan beliau KH. Mustofa Bisri, KH. Mahfudz Ridwan, KH. Husein Muhammad, Dr. Zastrouw Al-Ngatawi, Mas Andi Muawiyah Ramly, serta Prof. Dr. KH. Abdul Ghofur, sehingga novel ini bisa dijamin bukan sebuah rekayasa.
Di halaman belakang novel ini juga dilengkapi bagaimana riwayat pendidikan, karier, penghargaan, serta gelar doktor kehormatan Gus Dur. Selain itu juga terdapat foto-foto kenangan beliau bersama orang-orang tercinta.
Akan tetapi, novel ini hanya mengisahkan Gus Dur sampai batas beliau mengembara ke Eropa, sehingga hasrat dahaga pembaca akan kisah perjalanan beliau sampai beliau menjadi Presiden RI, menjadi Pengus Besar Nahdlatul Ulama, menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, hingga beliau wafat belum sepenuhnya terpenuhi, tetapi sebagai pembaca saya sudah cukup puas dengan novel ini bisa mengetahui apa yang belum saya ketahui dari kisah pejalanan beliau sampai menjadi guru bangsa.
Sebagai penutup, saya ingin menulis ini “Zaman telah sepi dari kehadiran tokoh besar kemanusiaan. Umat manusia berjalan tanpa lilin, tanpa cahaya, dan diliputi dengan ketidak mengertian. Bila engkau seorang pelajar dan pemikir, seharusnya engkau mencari-cari dengan serius kabar dan menapaki jalan hidup mereka”, kata-kata dari Syeikh Syahzuri, seorang sufi besar. Dan Gus Dur adalah satu diantara para tokoh besar kemanusiaan it. Saya berharap novel biografi ini banyak dibaca publik sebagai inspirasi kita untuk maju kedepan.